satu bulan sudah adik kami tercinta andres eka shandy berpulang ke pangkuan-Mu, tiada yang lain yang bisa kami lakukan selain berdoa agar adik kami ini tenang dsisihmu dan kami orng2 yang dtinglkan diberi kesabaran untuk bisa mneghadapi semua ini,,,,
kami menyayangimu, kamu adalah adik kami yang kuat, kamu berhasil melawan sakit leukimiamu walaopun tuhan berkata lain,,
Tuhan izinkanlah ia bahagia dsisihmu,,
Minggu, 23 Oktober 2011
untuk anak perempuanku,..
Waktu telah membuatmu tumbuh.Wahai jantung kebahagiaanku…! Merajut hari-hari,meninggalkan masa kecilmu,memasuki masa remajamu.Kini dalam dunia lahir,engkau bak mawar pemilik sisi manis dari susunan kelopak dan warna yang terpadukan.Namun aku selalu ingatkan,adalah susunan itu menjadi lebih manis dan selalu manis kala bulir-bulir kalam-kalam keagungan dan untaian zikir mengalir bening di sana mengirimkan nur kedamaian,membersitkan aura kesejatian.
Maka untukmu aku bekalkan kalam perumpaan; sebagai pijakan untuk menelusuri jalan tujuan; pembeda tipuan halus yang melenakan; penyadar dari kebanggaan semu yang memabukkan.
Duhai penggembira hatiku….. Kecantikan wajah dan kebaikan tubuhmu adalah anugerah Tuhan, amanah keindahan-Nya yang Ia percayakan padamu. Bukti kesempurnaan ciptaan-Nya yang tergambar lewatmu. Itu bersifat sementara, fana dan akan berakhir dengan bergeraknya matahari yang membentuk hari, bulan dan tahun. Kau boleh taburi wajahmu dengan aneka bubuk keayuan tapi jangan lupa, kau harus selalu baluri Ia dengan air kesucian. Kau boleh hiasi tubuhmu dengan aneka sandang keindahan, tapi jangan kau balut tubuhmu dengan yang kau kenakan namun lindungilah ia dengannya. Karena membalut adalah menutup unuk menonjolkan sedang melindungi adalah menuutup untuk memuliakan. Karena tubuhmu bukanlah nasi ketan yang di bungkus transparan tapi ia adalah ciptaan yang penuh kemuliaan.
Wahai belahan jiwaku…! Jangan kau jadikan ia sebagai kebanggaan akhirmu. Karena bila kau lakukan itu, kau laksana bunga yang bangga hanya karena keindahan warna dan susunan kelopaknya di saat mekar.
Lihatlah bunga yang mekar itu…! Begitu banyak kumbang-kumbang begitu banyak yang mencoba mendekati dan menyentuh; begitu banyak mata yang terbelalak kagum karena keindahannya…!
Tapi lihat lagi setelah waktu berlalu….! Ketika warnanya telah memudar, kelopaknya mulai layu hingga berguguran. Masihkah kumbang-kumbang itu terbang mengelilingnya? Apakah mata yang meliriknya kembali walau sesaat? Mungkinkan tangan menjulurkan jari-jemarinya lagi untuk merengkuhnya?
Kau hidup bukan hanya karena gerak jasadmu yang mempersona, Tapi kau hidup karena goresan pelajaran pada mata pikirmu
Untaian makna dalam kata-katamu, Dan kesempurnaan tindakan pada karsamu…..
Kau tak perlu jawab ini semua dengan lisanmu,tapi endapkan ia dalam jiwa dan nuranimu, kemudian munculkan ia dalam kesadaran baru bahwa kejumawaan hakikimu, keagungan nyawamu dan kemajuan sejatimu bukan pada tampak luarmu.
Kau adalah apa yang ada dalam jiwamu, eksistensimu adalah tampak dalammu. Bila kau sadari itu, kau laksana bunga pada pohon buah. Kemunculanmu adalah keniscayaan yang selalu di nantikan. Kehadiranmu adalah harapan untuk sekelilingmu. Kala mekar semua mata memandangmu dengan kasih, dan tangan-tanganitu bertaut erat membentuk perlindungan untukmu. Gugurnya kelopakmu bukanlah akhir perjalananmu, tapi upaya untuk menjadi yang lebih,menjadi buah kesejatian.
Kala aura batin dan pikiran jernihmu memancar, itulah buah hakikat dirimu yang selalu menjadi telaga. Telaga yang tak pernah kering, walau panas matahai memutar zaman. Karena kau mengairi dirimu sendiri dari mata air jernih yang mengalir dari kesucian kasih jiwa dan hatimu. Tidak hanya itu, kau penghapus dahaga para musafir pencari hakikat dan mengalirkannya pada jiwa-jiwa tandus dan gersang yang gelisah mengerang mencari kesegaran. Kau mengalir, kau hidup bukan hanya karena gerak jasadmu yang mempesona, tapi kan hidup karena goresan pelajaran pada mata pikirmu, untaian makna dalam kata-katamu,dan kesempurnaan tindakkan pada karsamu yang semuanya memberi arti hidup pada jiwa-jiwa itu.
Kau bisa lihat amtsal telaga itu, wahai rembulan kalbuku…. pada keagungan diri Khadijah, pada keluasan fikiran 'Aisyah, Pada kesucian pribadi Rabi’ah, pada keberanian hati Cut Nyak Dien, dan pada tekad mandiri Kartini.
Kamis, 20 Oktober 2011
"Apa air mata ini...?"
"Apa air mata ini...?" tanyaku.
"Ini air mata kesedihan, ungkapkan kepiluan yang mendera hati dan perasaan..." akuinya jujur.
"Untuk itukah airmata diciptakan..?", aku menyelidik.
"Mungkin saja tidak, tapi bagaimana mungkin ia takkan tergenang dan mengalir, jika kepedihan ini begitu menghimpit hati, mengirisnya dan meninggalkan luka yang begitu dalam sampai aku tak tahu obat apa yang harus aku berikan..!", ungkapnya.
"Begitu parahkah luka hatimu, sampai hidup ini terlihat hanyalah kumpulan penderitaan..?", desakku.
"Bagaimana tidak..., aku pasrahkan semua kasih sayang, aku persembahkan segala bentuk keindahan, aku utamakan dirinya dari segala kepentingan, tapi apa yang iya berikan..? hanya kekecewaan dan kesakitan.., sungguh penuh kesakitan!", keluhnya.
"Ooh.." responsku datar.
"Mengapa engkau hanya mendegarnya datar, tanpa ekspresi kepedihan, apa kau kira rasaku berpura-pura, hatiku bersandiwara..?!", protesnya
"Tidak, aku tahu engkau merasa begitu menderita, engkau jatuh berkubang dalam cobaan terberat yang banyak menghancurkan makhluk bahkan pencintaNya, tapi bagaimana mungkin engkau berharap kekekalan kasih dari ia yang fana, kesempurnaan sayang dari ia yang lemah, kesetiaan perasaan dari ia yang resah? aku kira sulit berharap kekebalan pada sesusatu yang masih dapat diraba dan disentuh...", belaku.
"Lanjutkan, walau panas hatiku untuk mendegarkan...!", ada rasa yang begitu menghimpit dalam permintaannya.
"Wahai engkau pencinta badan, apa yang kau alami bukanlah keanehan, itu hanya bagian yang kadang harus dirasa bersama persembahan cintamu pada kekasih manusiamu, itu juga satu dari sekian perbedaan persembahan cintamu pada Ia Yang Rahim. Perbedaan antara penerima cinta yang fana dengan sumber cinta yang kekal!", aku diam sejenak, melihat reaksinya.
"Lalu..." Ia menatapku serius. Menunggu lanjutan kata-kataku.
"Cinta pada kekasih manusiamu penuh degan kecemburuan, kau tak kan biarkan mata lain mengaguminya, senyum lain menyapanya, lisan lain memujinyamemujinya, kau akan mempertaruhkan seluruh kekuatan bahwa kehidupan milikmu untuk mengusir semua itu, agar mereka menjauh darinya. Tetapi mencintai-Nya membuat engkau dengan pencinta lain berjalan beriring, bertautan erat, berhias senyum tulus, menaiki tangga kerajaan-Nya, mengetuk pintu kasih-Nya, berjumpa dengan-Nya lalu menyapa-Nya bersama-sama dalam zikir pujaan."
"Cinta pada pujaan manusiamu mesti berakhir, sebesar apapun sayangmu. Karena ia hanyalah ciptaan yang fana. Kau tidak akan lepas dari pilihan, apakah ia yang akan meninggalkanmu atau engkau yang akan meninggalkannya baik karena keinginan, tersebab perubahan irama hati dan rasa atau karena paksaan waktu, kala sayap-sayap maut mengitari, cengkeraman tajam kukunya mengangkat nyawa. Rela atau tidak, semua harus diakhiri. Tetapi cintamu pada-Nya takkan pernah berakhir, walaupun kematian menjemputmu. Karena Ia yang kau cinta adalah sumber keabadian yang tak berpangkal dan berujung. Cinta-Nya pun menjadi abadi, menaungi tanpa ikatan masa, bahkan kematian menjadi jalan untuk menikmatinya."
"Perjumpaan dengan kekasih manusiamu terbatas, karena ia hidup dalam dimensi ruang dan waktu. Walau rindu mnggebu, hasrat merontak, harap memuncak, kau tidak begitu saja bisa bertemu. Ruangnya bukan ruangmu. Waktunya bukan waktumu. Kesengganganmu bisa jadi kesibukannya. Keinginanmu bisa jadi keengganannya. Tetapi, kerinduanmu padaNya dapat kau sampaikan dalam setiap waktu. Dinding bukan penghalan. Lautan bukan pemisah. Ia tak terikat semua itu. Karena Ia pengatur waktu. Pemilik ruang. Penghimpun jarak. Kau dapat jumpai Ia dalam siang dan malammu. Ramai dan sunyimu. Duduk dan berdirimu. Senang dan sedihmu. Mengurai rasa. Meminta daya. Karena Ia memang sangat dekat bahkan dari urat nadimu sekalipun."
"Apa yang engkau korbankan untuk bukti cinta kepada kekasih manusiamu belum tentu mendapatk kebaikan yhang sama darinya, malah bisa saja kau terima kebalikannya. Rasa sakit yang meradang, karena bedanya harapan yang dihayal dengan kenyataan yang dijumpa. Tetapi, sekecil apapun pengorbananmu untuk rasa cintamu padaNya, Ia akan memperhatikanmu lebih. Menganugerahkanmu banyak. Tidak akan dialpakan. Tidak mungkin dilupakan. Karena Ia meamgn sumber kekayaan. Asal kebaikan. Puncak persembahan...!"
"Aku...", ia terdiam, tak melanjutkan kata-katanya.
"Maaf, aku bukan mengajarimu. Aku hanya ingin kau mwaspadai fikiran-fikiran burukmu. Kepahitan yang rasa seberat apapun itu, barangkali sebuah karunia, seperti hari bermendung yang membawa hujan bagi taman kering dan kehidupan bagi bukin tandus. Aku pun taik ingin kau memandang kepahitanmu dengan begitu masam, karena barangkali ia membawa apa yang sebenarnya kau butuhkan dan dambakan. Apa yang menahanmu dari kegembiraan, bisa jadi ia yang mengantarmu pada kegembiraan, bisa jadi ia yang mengantarmu pada kegembiraan. Sekarang, tetaplah kau menangis, jika hal itu memang masih pantas untuk kau tangisi..." uraiku.
Langganan:
Postingan (Atom)