Kamis, 20 Oktober 2011

"Apa air mata ini...?"


"Apa air mata ini...?" tanyaku.

"Ini air mata kesedihan, ungkapkan kepiluan yang mendera hati dan perasaan..." akuinya jujur.

"Untuk itukah airmata diciptakan..?", aku menyelidik.

"Mungkin saja tidak, tapi bagaimana mungkin ia takkan  tergenang dan mengalir, jika kepedihan ini begitu menghimpit hati, mengirisnya dan meninggalkan luka yang begitu dalam sampai aku tak tahu obat apa yang harus aku berikan..!", ungkapnya.

"Begitu parahkah luka hatimu, sampai hidup ini terlihat hanyalah kumpulan penderitaan..?", desakku.

"Bagaimana tidak..., aku pasrahkan semua kasih sayang, aku persembahkan segala bentuk keindahan, aku utamakan dirinya dari segala kepentingan, tapi apa yang iya berikan..? hanya kekecewaan dan kesakitan.., sungguh penuh kesakitan!", keluhnya.

"Ooh.." responsku datar.

"Mengapa engkau hanya mendegarnya datar, tanpa ekspresi kepedihan, apa kau kira rasaku berpura-pura, hatiku bersandiwara..?!", protesnya

"Tidak, aku tahu engkau merasa begitu menderita, engkau jatuh berkubang dalam cobaan terberat yang banyak menghancurkan makhluk bahkan pencintaNya, tapi bagaimana mungkin engkau berharap kekekalan kasih dari ia yang fana, kesempurnaan sayang dari ia yang lemah, kesetiaan perasaan dari ia yang resah? aku kira sulit berharap kekebalan pada sesusatu yang masih dapat diraba dan disentuh...", belaku.

"Lanjutkan, walau panas hatiku untuk mendegarkan...!", ada rasa yang begitu menghimpit dalam permintaannya.

"Wahai engkau pencinta badan, apa yang kau alami bukanlah keanehan, itu hanya bagian yang kadang harus dirasa bersama persembahan cintamu pada kekasih manusiamu, itu juga satu dari sekian perbedaan persembahan cintamu pada Ia Yang Rahim. Perbedaan antara penerima cinta yang fana dengan sumber cinta yang kekal!", aku diam sejenak, melihat reaksinya.

"Lalu..." Ia menatapku serius. Menunggu lanjutan kata-kataku.

"Cinta pada kekasih manusiamu penuh degan kecemburuan, kau tak kan biarkan mata lain mengaguminya, senyum lain menyapanya, lisan lain memujinyamemujinya, kau akan mempertaruhkan  seluruh kekuatan bahwa kehidupan milikmu untuk mengusir semua itu, agar mereka menjauh darinya. Tetapi mencintai-Nya membuat engkau dengan pencinta lain berjalan beriring, bertautan erat, berhias senyum tulus, menaiki tangga kerajaan-Nya, mengetuk pintu kasih-Nya, berjumpa dengan-Nya lalu menyapa-Nya bersama-sama dalam zikir pujaan."

"Cinta pada pujaan manusiamu mesti berakhir, sebesar apapun sayangmu. Karena ia hanyalah ciptaan yang fana. Kau tidak akan lepas dari pilihan, apakah ia yang akan meninggalkanmu atau engkau yang akan meninggalkannya baik karena keinginan, tersebab perubahan irama hati dan rasa atau karena paksaan waktu, kala sayap-sayap maut mengitari, cengkeraman tajam kukunya mengangkat nyawa. Rela atau tidak, semua harus diakhiri. Tetapi cintamu pada-Nya takkan pernah berakhir, walaupun kematian menjemputmu. Karena Ia yang kau cinta adalah sumber keabadian yang tak berpangkal dan berujung. Cinta-Nya pun menjadi abadi, menaungi tanpa ikatan masa, bahkan kematian menjadi jalan untuk menikmatinya."

"Perjumpaan dengan kekasih manusiamu terbatas, karena ia hidup dalam dimensi ruang dan waktu. Walau rindu mnggebu, hasrat merontak, harap memuncak, kau tidak begitu saja bisa bertemu. Ruangnya bukan ruangmu. Waktunya bukan waktumu. Kesengganganmu bisa jadi kesibukannya. Keinginanmu bisa jadi keengganannya. Tetapi, kerinduanmu padaNya dapat kau sampaikan dalam setiap waktu. Dinding bukan penghalan. Lautan bukan pemisah. Ia tak terikat semua itu. Karena Ia pengatur waktu. Pemilik ruang. Penghimpun jarak. Kau dapat jumpai Ia dalam siang dan malammu. Ramai dan sunyimu. Duduk dan berdirimu. Senang dan sedihmu. Mengurai rasa. Meminta daya. Karena Ia memang sangat dekat bahkan dari urat nadimu sekalipun."

"Apa yang engkau korbankan untuk bukti cinta kepada kekasih manusiamu belum tentu mendapatk kebaikan yhang sama darinya, malah bisa saja kau terima kebalikannya. Rasa sakit yang meradang, karena bedanya harapan yang dihayal dengan kenyataan yang dijumpa. Tetapi, sekecil apapun pengorbananmu untuk rasa cintamu padaNya, Ia akan memperhatikanmu lebih. Menganugerahkanmu banyak. Tidak akan dialpakan. Tidak mungkin dilupakan. Karena Ia meamgn sumber kekayaan. Asal kebaikan. Puncak persembahan...!"

"Aku...", ia terdiam, tak melanjutkan kata-katanya.

"Maaf, aku bukan mengajarimu. Aku hanya ingin kau mwaspadai fikiran-fikiran burukmu. Kepahitan yang rasa seberat apapun itu, barangkali sebuah karunia, seperti hari bermendung yang membawa hujan bagi taman kering dan kehidupan bagi bukin tandus. Aku pun taik ingin kau memandang kepahitanmu dengan begitu masam, karena barangkali ia membawa apa yang sebenarnya kau butuhkan dan dambakan. Apa yang menahanmu dari kegembiraan, bisa jadi ia yang mengantarmu pada kegembiraan, bisa jadi ia yang mengantarmu pada kegembiraan. Sekarang, tetaplah kau menangis, jika hal itu memang masih pantas untuk kau tangisi..." uraiku.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar